Saya = paradoks
Saya adalah paradoks. Saya menganyam kebohongan untuk memperlihatkan sejati saya. Sebenarnya , saya ingin dunia melihat sejati saya, bukan kebohongan yang saya anyam. Tetapi, dunia malah mempersepsi kebohongan saya sebagai sejati saya. Sedangkan untuk tidak melawan arus utama dunia – untuk mempertontonkan sejati sebagai sejati, tanpa melalui terowongan kebohongan – saya tidak bisa. Kenapa? Karena saya adalah paradoks.
Paradoks itu menjadi semacam ID card bagi saya. Simbol yang saya tempelkan di ‘jidat’ saya agar dunia dapat mengidentifikasi diri saya melalui-nya. Paling tidak, dengan ‘paradoks’ saya berharap memiliki teritori ke-khas-an. Yang mana, harapan tersebut juga membangun paradoks tersendiri. ‘dunia dapat mengidentifikasi saya’ mengandung makna yang berorientasi eksternal, sementara, ‘teritori’ adalah term yang sangat posesif, sarat dengan prinsip non-intervensi. Pendek kata, saya membangun benteng pertahanan diri dengan material terpaan persepsi manusia lain kepada saya. Saya membangun benteng untuk berlindung dari penilaian manusia, namun saya tidak mungkin memiliki benteng tersebut tanpa adanya ‘judgement’ itu sendiri.
Maka dari itu, saya terus menganyam kebohongan. Terus-menerus, seperti laba-laba yang menjalin jarring ‘keamanan’ dengan zat yang keluar dari anusnya. Saya tak pernah merasa cukup. Benteng saya masih terlalu lemah, ketebalan temboknya masih minim, ketinggian pagarnya masih rendah, gembok-gembok gerbangnya masih sangat mudah untuk dicongkel, dan gerbangnya masih dapat didobrak dengan sentilan ujung jari saja.
Saya tak pernah merasa aman, saya terus mengonsumsi kebohongan, sejumlah kebohongan, dan lebih banyak lagi kebohongan…
Dropped by to say hi… “hi..” *wave*